Sabtu, 15 Mei 2010

BALASAN ALLAH SWT KEPADA MUJAHID

Pada suatu hari kami bersiap-siap berangkat perang. Aku meminta teman-teman membaca sebuah ayat Al-Qur’an. Salah seorang lelaki di majelis kami segera membacakan ayat 111 dari Surat At-Taubah : “Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka….” Setelah pembacaan ayat tersebut, berdirilah seorang anak muda yang orang-tuanya telah meninggal dan ia satu-satunya pewaris kekayaannya yang sangat banyak.

“Hai Abdul Wahid Bin Zaid”, panggil anak muda itu. Aku menoleh ke arahnya. Lalu ia mengulang ayat tersebut diatas, dengan intonasi seolah-olah ingin meminta ketegasan dariku. “Sesungguhnya Allah SWT. membeli dari orang-orang mukmin diri mereka dan harta mereka dengan surga untuk mereka.”

“Benar, hai anak muda !” tegasku. “Aku mempersaksikan kepada engkau,” ungkap anak muda itu serius. “bahkan diriku dan hartaku kujual dengan surga untukku.” Aku berkomentar, “Sesungguhnya tajamnya pedang itu lebih berat kau tanggung daripada melepas harta bendamu. Dan engkau masih muda, aku khawatir engkau tidak bisa tabah dan lemah menghadapi pedang.”

“Hai Abdul Wahid,” sergah pemuda itu. “Aku memohon kepada Allah untuk membelinya dengan surga. Dan aku mempersaksikan kepada Allah bahwa aku telah menjualnya kepada-Nya”.

“Aku tak habis pikir, seorang anak muda punya pemikiran seperti itu, sedangkan kita tidak.” ujarku pada teman-teman lain.

Anak muda itu lantas mengeluarkan dan memberikan semua harta bendanya kepadaku untuk dibelanjakan di jalan Allah SWT, kecuali kuda dan pedangnya serta nafkah secukupnya baginya.

Ketika tiba waktunya untuk berperang, anak muda itulah yang pertama kali muncul di barisan muslimin dan mukminin pimpinanku. Ia mengucapkan salam kepadaku dan aku membalasnya. Kemudian berangkatlah kami ke medan laga. Dalam perjalanan anak muda itu berpuasa di siang hari dan beribadah di malam hari. Dia berkhidmat kepada kami, mengurus unta-unta dan kuda-kuda serta senantiasa berjaga-jaga ketika kami tidur. Setelah kami sampai di negeri Romawi, anak muda itu siap menghadapi musuh dan memanggil-manggil, “Aduh aku benar-benar ingin segera bertemu dengan Ainul Mardhiyah.” Teman-temanku berkata, “Barangkali anak muda itu bimbang dan pikirannya kacau.”

Aku segera menghampirinya, dan menanyakan, “Apakah yang kau maksud dengan Ainul Mardhiyah itu?”

“Sesungguhnya aku mengantuk sekejap waktu tadi malam,” tutur anak muda itu. “Dalam tidurku aku bermimpi seakan ada seorang lelaki mendatangiku. Ia menyuruhku menemui Ainul Mardhiyah. Aku mengikuti permintaannya dan dia mengajakku ke sebuah sungai yang sangat jernih airnya. Di pinggir sungai itu duduk bidadari-bidadari yang berhias dan berkalung. Aku sendiri tidak dapat menuturkannya dengan kata-kata. Ketika para bidadari itu melihatku, mereka bergembira sambil berkata, ” itulah suami Ainul Mardhiyah”. Aku mengucap salam dan bertanya, “Adakah Ainul Mardhiyah di antara kalian?” Mereka membalas salamku dan menjawab, “kami semua pelayannya. Teruslah engkau berjalan”. Aku terus berjalan hingga sampai ke sungai yang mengalir susu. Sungai itu berada di sebuah taman yang penuh aneka hiasan dan bidadari-bidadari. Aku merasa terpikat dengan keindahan dan keelokannya. Dan ketika para bidadari itu melihatku, mereka tersenyum gembira sambil berkata, “Demi Allah, dialah suami Ainul Mardhiyah”. Aku mengucap salam dan bertanya, “Adakah Ainul Mardhiyah di antara kalian?” Mereka menjawab, “Hai kekasih Allah, kami semua pelayannya. Teruskan perjalanan engkau”.

Aku meneruskan perjalanan, dan akhirnya tiba di sungai yang mengalir arak. Di tepian sungai itu duduk bidadari-bidadari yang lebih cantik dari bidadari-bidadari yang kulihat sebelumnya. Aku langsung mengucap salam dan bertanya, “Adakah Ainul Mardhiyah di antara kalian?” Mereka membalas salamku dan menjawab, “Kami ini pelayannya. Teruslah engkau berjalan”. Akupun melanjutkan perjalanan hingga menemukan lagi sebuah sungai yang mengalir madu yang jernih. Di kanan kirinya bergerombol bidadari-bidadari dengan pakaian dan perhiasan gemerlapan dan lebih cantik lagi. Aku kembali mengucapkan salam dan bertanya, “Adakah Ainul Mardhiyah di antara kalian?” Setelah membalas salamku mereka menjawab : “Duhai kekasih Allah, kami semuanya pelayannya. Teruskan perjalanan engkau”.

Aku meneruskan perjalananku dan pada akhirnya sampai di sebuah kemah dari intan yang putih bersih. Di pintu kemah itu ada seorang bidadari yang sangat cantik, berhias dan berkalung. “Ini pasti Ainul Mardhiyah yang dimaksud”, pikirku. Ketika bidadari itu melihatku, ia tampak sangat gembira dan memanggil-manggil ke dalam kemah : “Hai Ainul Mardhiyah, berbahagialah engkau, suamimu telah datang!”. “Oh, rupanya dia juga pelayannya”, kataku membatin.

Aku segera menghampiri kemah itu dan memasukinya setelah mengucapkan salam. Kulihat ada seorang bidadari cantik jelita dengan mata jeli tengah duduk di ranjang emas yang dihiasi mutiara dan yakut. Kecantikannya tidak dapat kulukiskan dengan kata-kata, yang pasti ia jauh lebih cantik dari bidadari-bidadari yang kulihat sebelumnya. Dengan kata lain dialah “bidadarinya dari para bidadari” atau “ratunya para bidadari”. Aku langsung sangat terpikat dan jatuh cinta padanya. Dia berkata dengan lemah lembut, “Selamat datang wahai kekasih Allah Yang Maha Rahman, engkau hampir sampai kepadaku”.

Aku sudah tidak sabar dan segera berusaha memeluknya. Tercium harum semerbak wewangian di sekelilingnya yang belum pernah kurasakan selama ini. Ternyata ia menolak pelukanku, “Sabarlah kekasihku, suamiku yang kekal abadi…….karena engkau belum diizinkan. Ruhmu masih berada di tubuhmu. Engkau baru boleh bersamaku besok malam dan untuk selama-lamanya”. Dan terbangunlah aku. “Hai Abdul Wahid, aku tidak sabar lagi menemui isteriku, bidadariku!” katanya hampir berteriak, mengakhiri cerita mimpinya. Sebenarnya percakapanku dengan anak muda itu belum selesai. Tiba-tiba datanglah serombongan pasukan musuh menyerbu kami.

Seketika bangkitlah anak muda itu dan menyongsong kedatangan mereka. Lagi-lagi ia hendak berkhidmat dan seolah ingin melindungi kami para orang tua dari sergapan musuh yang datang tiba-tiba. Setelah perang selesai aku berusaha mencari-cari anak muda itu dan melewati tempat pertempuran itu. Aku melihat anak muda itu berlumuran darah dan telah menemui ajalnya di jalan Allah dengan senyuman di bibirnya. Mungkin dia sekarang sudah berada dalam dekapan abadi Ainul Mardhiyah. (Jawad Satuju)

(Diriwayatkan oleh Al-Yaffi berdasarkan ceritera Syeikh Abdul Wahid Bin Zaid.)

0 komentar:

Posting Komentar

Check Out

 


Recent Post

Pendukung

Powered By Blogger

Status Rank

Iklan